Kanal

Kasus Rp 46 M RSUD Bangkinang, Uwo Nanda Minta Klarifikasi Catur dan Ahmad Fikri Cs 

Pekanbaru- Organisasi Masyarakat Sipil di Riau, meminta pihak terkait bertanggung jawab atas mangkraknya proyek pembangunan gedung rawat inap kelas III l RSUD Kabupaten Kampar. 

Kami mempertanyakan kenapa Gedung Ini belum difungsikan alias tidak kunjung dioperasikan, kata Ketua YBHM Riau, Maturidi, SH, selasa (20/10/2020) saat ditemui di Pekanbaru. 

Menurut Maturidi, SH proyek raksasa yang bersumber dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus) sejumlah Rp 46 M. 

Lebih lanjut menurut Maturidi, pihaknya mencurigai banyak pihak terlibat disini. 

Walaupun dana ini DAK namun diduga melibatkan para petinggi dibawah, kami akan minta klarifikasi Bupati Kampar Catur Sugeng, Ahmad Fikri mantan ketua DPRD Kampar dan lain lain. 

"Kuat dugaan ada aliran dana ke sejumlah pihak, kami akan telusuri dulu " Kata pria yang akrab di panggil uwo Nanda ini. 

Banyak kejanggalan, ada kontruksi yang terabaikan namun dilakukan pembayaran. Dibagian lain beberapa item pekerjaan yang dikerjakan tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan, itu juga dipaksa pembayaran oleh dinas PUPR Kampar. 

Untuk diketahui, Pemerintah Kabupaten Kampar melalui Satker Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangkinang, melaksanakan kegiatan pelelangan Pembangunan Gedung Rawat Inap Kelas III (Tahap III) dan penandatangan kontrak pada bulan Mei 2019, dari Nilai HPS Paket Rp 46.645.811.080,00, muncul PT. Gemilang Utama Alen, sebagai pemenang tender dengan nilai kontrak Rp 46.492.675.000,00, mengalahkan PT Razasa Karya dengan penawaran Rp 39.745.062.802,42.

Masih menurut Uwo Nanda pihaknya akan melaporkan dugaan Tipikor diduga melibatkan  pihak-hak terkait lainnya yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan proyek diatas yakni, PPK Mayusri, ST, Direksi Firdaus, ST, kemudian pihak rekanan PT. Gemilang Utama Alen, Amrizal (selaku GM), dan Consultan MK : PT. Taufiq (selaku Kepala Cabang).

Diduga melanggar Pasal 1 ayat UU No 28 tahun 1999, Ketika seorang penyelenggara negara (dalam hal ini pimpinan instansi pemerintah) membiarkan terjadinya korupsi di instansi yang dipimpinnya, maka dia telah mengesampingkan penyelenggaraan negara yang bersih yaitu penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
 
Penyelenggara negara tersebut dapat dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan dengan membiarkan dilakukannya korupsi pada instansi yang dipimpinnya dan dapat dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). 

"Kami berharap ada titik terang terhadap masalah ini" tutup Nanda. (Edi) 

Ikuti Terus Riaupower

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER